Sejarah Jum'at Kelabu

 TRAGEDI JUM’AT KELABU

pojoksatu.id/RifkyAlfathan
Makam massal Jumat Kelabu di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Landasan Ulin, Banjarbaru.


Suatu peristiwa yang tidak akan terlupakan oleh warga Banjarmasin. suatu peristiwa yang meninggalkan kesedihan dan trauma mendalam. Kerusuhan dengan ratusan korban jiwa yang mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Pada 23 Mei 1997 terjadi kerusuhan berdarah saat putaran akhir kampanye Pemilu 1997. Yaitu tragedi Jum’at kelabu.

Tragedi ini bermula pada tanggal 23 Mei 1997, bertepatan dengan hari Jum’at. Kerusuhan berawal saat hari terakhir kampanye pemilu 1997, sebagian massa dari kampanye Golkar yang terdiri dari anak-anak muda membuat kegaduhan dengan membuat suara raungan sepeda motor, sehingga menganggu para jemaah muslim yang sedang melaksanakan ibadah shalat jumat pada kala itu.

Tragedi Jumat Kelabu berawal dari kesalahpahaman di antara masyarakat Banjarmasin seusai sembahyang Jumat. Kejadiannya berlokasi di sekitar Jalan Pangeran Antasari di depan Masjid Agung Miftahul Ikhsan, di ujung perempatan Jalan Kolonel Soegiono, dan di depan Mitra Plaza sampai ke ujung Jalan Pangeran Samudera. Konflik itu terjadi sekitar pukul 13.30 WITA antara massa yang sedang mempersiapkan kampanye Golkar dengan sekelompok orang yang mungkin tidak suka dengan keberisikan mereka. Lalu terjadilah letupan kecil di depan Pos Polisi Sudimampir dan merambat sampai ke depan Masjid Noor Jalan Pangeran Samudera sekitar pukul 14.00 WITA.

Menurut Muhammad Habibi Darma Saputra dalam penelitiannya, “Peristiwa Kerusuhan Banjarmasin 23 Mei 1997" (2014), ada tiga versi tentang awal kerusuhan. Versi pertama menyebutkan bentrokan terjadi di luar dugaan jamaah salat Jumat. Pada awalnya, jamaah hanya memberikan teguran kepada para anggota satuan tugas (satgas) Golkar yang mengamankan prosesi kampanye; namun anggota satgas Golkar, yang sebagian besar adalah preman, ternyata membawa senjata tajam dan menyerang jamaah hingga berlarian ke perkampungan di sekitar masjid.

Versi kedua menyebutkan bentrokan terjadi karena ada tiga pengendara motor, yang merupakan anggota satgas, babak belur dipukuli jamaah. Mereka kemudian memacu motor menuju kantor DPD Golkar Kalsel untuk mengadu pada teman-teman mereka dan kembali menyerang balik dengan pasukan yang lebih banyak.

Versi ketiga menyebutkan bentrokan terjadi selain antara tiga pengendara sepeda motor itu, di sekitar Masjid Noor, juga karena sudah banyak satgas Golkar yang menyaksikan teman mereka dipukuli. Mereka ikut membantu. Tapi simpatisan dan satgas, yang berjumlah 8 orang, terdesak oleh massa yang semakin menyemut.

Warga menyerbu dan mengejar yang berpawai, membubarkan mereka yang berkumpul di lapangan Kamboja dan membakar atribut Golkar. Peserta kampanye, tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang mengenakan baju atau kaos kuning, dipaksa melepaskan pakaiannya dibawah ancaman senjata tajam, seperti clurit, golok dan sebagainya.

Pukul 2 siang, situasi kian memanas. Massa yang melengkapi dirinya dengan senjata tajam mulai bergerak ke pusat kota. Pergerakan ke pusat kota juga diikuti dengan perusakan. Bangunan, mobil, dan fasilitas umum yang dilalui massa tak luput dari amukan. Bentrokan fisik pun menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Ruko-ruko dirusak, dan Mitra Plaza dibakar. Aksi penjarahan pun tak terhindarkan. Listrik yang padam ikut menjadikan suasana kota kian mencekam. Pemandangan di Banjarmasin kala itu tampak kacau bak arena peperangan.

Kerusuhan berlangsung dari pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Selama itu pihak keamanan seakan tak berdaya. Peristiwa itu menyebabkan 12 kantor, 10 toko dan tempat hiburan, 5 tempat ibadah, dan beberapa sekolah, panti jompo, serta rumah penduduk terbakar dan rusak. Ratusan warga pun terdampak. Menurut Sejarawan Kalsel, Mansyur, ada 400 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan 4 ribu karyawan kehilangan pekerjaan akibat peristiwa itu. Selain itu, ada 21 mobil terbakar, 12 mobil rusak, 60 sepeda motor terbakar, dan 4 lainnya rusak. Korban meninggal akibat peristiwa nahas itu berjumlah ratusan orang, ratusan lain hilang, dan seratusan warga luka luka.

Peristiwa 23 Mei 1997 ini sangat menggores perasaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis apalagi sampai meminta korban jiwa manusia. Kejadian ini semakin melemahkan posisi pemerintahan Orde Baru, karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa. Musuh-musuh Orde Baru menjadikan peristiwa semacam kerusuhan 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Kasus ini sampai sekarang tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab.

"Gejolak-gejolak yang terjadi di Ibu kota Jakarta menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru diikuti dengan seksama oleh daerah-daerah termasuk Kalimantan Selatan. Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Unlam mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta agar Presiden RI Jenderal Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak lagi memimpin bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis," tambah Mansyur.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden. Dan sejak itu pemerintahan orde baru tumbang. Namun begitu, ingatan akan pahitnya tragedi ini masih membekas di sebagian warga Banjarmasin. Terutama yang menyaksikannya, apalagi aparat hanya bisa menangkap penjarah dan perusak kelas teri yang terbawa-bawa suasana kerusuhan. Bukan dalangnya.


Sumber:

https://amp.tirto.id/amuk-di-akhir-kuasa-orba-detik-demi-detik-jumat-kelabu-banjarmasin-ggee

https://apahabar.com/2022/05/sejarah-hari-ini-tragedi-kelam-jumat-kelabu-banjarmasin/amp/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Situ Cikaret

Storage Device: Pengertian, Contoh, dan Fungsi